Kearifan Lokal, Kunci Keberlangsungan Ekosistem Teluk Mayalibit
Teluk itu begitu teduh saat kami tandangi, Kamis (4/10). Air laut jernih, bagaikan kaca, memperlihatkan kekayaan flora dan fauna di dalamnya. Hanya sesaat kami bersandar dengan speed boat, ikan dengan baluran berbagai warna dan jenis, mengerubung.
Spontan, kami mencari camilan roti di dalam tas masing-masing. Sedikit demi sedikit potongannya kami berikan pada ikan-ikan penghuni Teluk Mayalibit, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat.
Menurut Abraham Gaman, petugas Conservation International (CI) Indonesia, kekayaan laut Teluk Mayalibit tidaklah sebesar itu pada tahun 2006. "Wilayah ini dulu dibombardir dengan bom, potasium, untuk menangkap ikan," ujar Abraham.
Barulah pada tahun 2008 dibangun dermaga dan kantor kerja CI. Perlahan demi perlahan, Teluk Mayalibit yang terbagi menjadi sepuluh desa/kelurahan, tumbuh menjadi wilayah utama pertumbuhan ikan kembung.
Kantor sederhana yang hanya terbuat dari papan triplek itu juga berhasil membangun kegiatan pengawasan bersama masyarakat. Warga lokal Teluk Mayalibit kini tidak lagi menggunakan metode bom dan racun untuk menangkap ikan. Melainkan dengan metode tradisional yang biasanya dilakukan malam hari.
"Di malam bukan malam purnama, warga membawa lampu kecil, diletakkan di air. Ikan yang menghampiri lampu tersebut, tinggal diserok menggunakan alat khusus," cerita Abraham lagi.
Kearifan lokal ini dan sistem sasi, sangat membantu keberlangsungan ekosistem di Teluk Mayalibit --yang merupakan bagian dari Bentang Laut Kepala Burung Papua. Sasi merupakan tradisi tua di Papua, mekanisme ini memungkinkan masyarakat mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.
"Bentang Laut Kepala Burung Papua sangatlah terkenal. Kita harus pikirkan aspek keberlanjutannya," tambah Alberth Nebore, Raja Ampat Senior Coridor Manajer CI Indonesia.
Suber (Zika Zakiya) semoga jadi inpirasi
Spontan, kami mencari camilan roti di dalam tas masing-masing. Sedikit demi sedikit potongannya kami berikan pada ikan-ikan penghuni Teluk Mayalibit, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat.
Menurut Abraham Gaman, petugas Conservation International (CI) Indonesia, kekayaan laut Teluk Mayalibit tidaklah sebesar itu pada tahun 2006. "Wilayah ini dulu dibombardir dengan bom, potasium, untuk menangkap ikan," ujar Abraham.
Barulah pada tahun 2008 dibangun dermaga dan kantor kerja CI. Perlahan demi perlahan, Teluk Mayalibit yang terbagi menjadi sepuluh desa/kelurahan, tumbuh menjadi wilayah utama pertumbuhan ikan kembung.
Kantor sederhana yang hanya terbuat dari papan triplek itu juga berhasil membangun kegiatan pengawasan bersama masyarakat. Warga lokal Teluk Mayalibit kini tidak lagi menggunakan metode bom dan racun untuk menangkap ikan. Melainkan dengan metode tradisional yang biasanya dilakukan malam hari.
"Di malam bukan malam purnama, warga membawa lampu kecil, diletakkan di air. Ikan yang menghampiri lampu tersebut, tinggal diserok menggunakan alat khusus," cerita Abraham lagi.
Kearifan lokal ini dan sistem sasi, sangat membantu keberlangsungan ekosistem di Teluk Mayalibit --yang merupakan bagian dari Bentang Laut Kepala Burung Papua. Sasi merupakan tradisi tua di Papua, mekanisme ini memungkinkan masyarakat mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.
"Bentang Laut Kepala Burung Papua sangatlah terkenal. Kita harus pikirkan aspek keberlanjutannya," tambah Alberth Nebore, Raja Ampat Senior Coridor Manajer CI Indonesia.
Suber (Zika Zakiya) semoga jadi inpirasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar